Tulisan ini di publish di :
Dr. Bambang Eko Samiono, ST, MM, CHRP
Dosen Manajemen FEB UAI, Direktur Kerjasama UAI
———————————
Bukanlah suatu hal yang mengejutkan bila diperoleh data bahwa kewirausahaan bukanlah merupakan pekerjaan utama yang diinginkan oleh penduduk Indonesia. Merujuk data yang dirilis Global Entrepreneur Index (GEI) di tahun 2019 hanya menempatkan Indonesia di urutan ke 75 dari 137 negara yang di survey. Malah jika ditinjau dari kualitas wirausaha yang dimiliki, kompetensi wirausaha di Indonesia terlihat masih tertinggal jauh baik secara regional ataupun global. Di skala regional Asia Tenggara, Indonesia tertinggal dari Singapura (26), Malaysia (43), Brunei (48) Thailand (54) dan sedikit lebih unggul dari Vietnam (75) dan Philipines (86). Meskipun rangking yang didapat Indonesia ini merupakan progres perbaikan dari tahun 2018 dimana Indonesia berada di rangking 94 dan tahun 2017 di rangking 90 diantara 137 negara.
Satu hal yang cukup menggembirakan terlihat pada angka rasio jumlah wirausaha yang ada di Indonesia yang dirilis tahun 2020. Angka 3.74% merupakan capaian yang menggembirakan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Namun demikian bila ditengok pada angka 4% yang merupakan standart rasio kewirausahaan di negara maju maka masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan. Terlebih angka ini menunjukkan ketertinggalan Indonesia dibandingkan Malaysia dan Thailand yang mencapai Hampir 5% dan Singapore yang sudah mencapai rasio 9%.
Lebih menarik lagi bila kita mencermati data yang di keluarkan oleh Global Entrepreneur Monitor (GEM) 2020. Yang dalam hal ini berfokus salah satunya pada attitudes and perceptions, Entrepreneurial Framework Condition dan Entrepreneurial Impact. Terlihat dari 43 negara yang di survei Indonesia mempunyai rangking yang bagus (diatas 7 dari 43) dalam hal perilaku dan persepsinya dalam hal ketrampilan, pengetahuan kewirausahaan dan kemudahan dalam memulai bisnis. Namun ini sangat kontras dengan data yang menunjukkan bahwa minat berwirausaha mereka jauh berada di rangking 17 dan harapan untuk berwirausaha di 5 tahun mendatang hanya berada di rangking 41. Wajarlah bila temuan dalam indikator Entrepreneurial Impact di Indonesia berada di bawah rangking 36 semua. Padahal secara dukungan pemerintah dalam kebijakan, pajak dan birokrasi, pendidikan kewirausahaan di sekolah maupun diluar sekolah juga transfer penelitian dan pengembangan jauh lebih bagus daripada tahun-tahun sebelumnya. Terdapat satu kunci dimana terlihat bahwa ketakutan untuk gagal bagi calon wirausaha menjadi kendala terbesar di Indonesia (rangkin 41 dari 43)
PEMBAHASAN
Tentunya setelah melihat paparan data diatas bila bicara mengenai dunia kampus maka peran dan efektifitas pendidikan kewirausahaan dalam mendongkrak tumbuhnya intensi kewirausahaan patut dipertanyakan. Mengingat kewirausahaan adalah salah satu program yang digencarkan pemerintah untuk mengatasi problem pengangguran dengan berfokus pada bidang Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Terlebih keprihatinan dimana Indonesia yang merupakan negara muslim terbesar di dunia ternyata belum mampu menumbuhkan muslimpreneur
Pemerintah sendiri melalui Kementerian Pendidikan Nasional berupaya mendorong tumbuhnya intensi berwirausaha ini utamanya pada tingkat pendidikan tinggi. Strategi ini sangat tepat mengingat perguruan tinggi dipandang mampu berperan dalam aspek ekonomi bangsa. Hasil akhir yang ingin dicapai tentunya adalah terciptanya generasi muda yang kreatif, inovatif, cerdas, mandiri dan mampu membangun berbagai peluang kerja (usaha). Dengan demikian menjadi kewajiban bagi semua perguruan tinggi untuk mengubah strategi kebijakan-kebijakan perguruan tingginya. Memberikan perubahan dari kebijakan high Learning university and Research University menjadi Entrepreneurial University atau setidaknya memberikan keseimbangan terhadap kedua arah kebijakan tersebut.
Bagaimana mengenai penerapan pendidikan kewirausahaan pada universitas Islam swasta Di Indonesia. Kita lihat pada Pangkalan Data DIKTI (PDDIKTI), tercatat terdapat 52 Perguruan tinggi berbentuk universitas yang berada pada binaan LL Dikti wilayah III atau dulu lebih dikenal dengan Kopertis Wilayah III yang menaungi wilayah Jakarta. Diantaranya 52 Universitas yang ada terdapat tujuh universitas yang merupakan universitas berbasiskan Islam dimana universitas swasta ini mengintegrasikan dan menginterkoneksikan antara keilmuan agama dan disiplin ilmu yang dipelajarinya. Terdata terdapat hanya 5 universitas Islam swasta dengan Akreditasi A dan B (data 2019). Bila di cermati ternyata hanya ada dua universitas Islam swasta yang mempunyai perhatian khusus mengenai kewirausahaan dengan membuka konsentrasi khusus kewirausahaan.
Lalu apakah pendidikan kewirausahaan pada universitas Islam swasta tersebut telah secara efektif mampu menumbuhkan intensi akan kewirausahaan? Ternyata jawabannya yaitu sama: tidak!. Dari penelitian mengenai intensi kewirausahaan di Universitas Islam Swasta (Samiono, BE. 2019) tersebut didapati bahwa bahwa pendidikan kewirausahaan tidak mempengaruhi Intensi Kewirausahaan mahasiswanya. Ini cukup mengejutkan. Meski intensi kewirausahaan pada mahasiswa tersebut cukup kuat dalam kesungguhan memikirkan konsep bisnis yang akan mereka jalankan namun kesungguhan memikirkan konsep ini tidak dibarengi dengan satu keinginan yang kuat menjadi wirausaha utamanya untuk mempunyai usaha sendiri.
Ditilik dari kurikulum kewirausahaan yang diberikan, metodologi pengajaran yang diterapkan, kegiatan penunjang kewirausahaan serta dukungan universitas terhadap pengembangan kewirausahaan universitas islam swasta tersebut terlihat bahwa mereka masih belum mampu menumbuhkan intensi kewirausahaan mahasiswanya. Pendidikan kewirausahan yang diberikan sebenarnya sudah mampu untuk meningkatkan tumbuhnya sikap positif mereka dalam memandang kewirausahaan serta kepercayaan diri untuk mampu menerapkan hasil pembelajaran yang ada. Namun kendala yang mereka hadapi adalah adanya ketidak pastian akan hasil/pendapatan suatu bisnis memberikan kontribusi negatif terhadap sikap mereka. Disamping itu merekapun berkurang kepercayaan dirinya bila berhadapan dengan resiko yang terjadi pada bisnis terutama bila harus bangkit dari kegagalan dalam menjalankan bisnis.
Membedah kurikulum pendidikan kewirausahaan yang diterapkan di universitas Islam swata tersebut didapati bahwa penitik beratan pada pemberian materi hard skill kepada mahasiswa dibandingkan dengan materi soft skill bisa jadi adalah kunci permasalahan yang harus dibenahi. Materi hard skil yang diberikan berhasil meningkatkan kepercayaan diri mahasiswa terutama dalam menguasai ilmu manajerial dan kewirausahaan namun hal ini tidak cukup. Mahasiswa perlu mendapatkan motivasi dan pembekalan manajemen yang bersifat soft skill untuk mampu lebih bersikap positif dan percaya diri menjalankan bisnis di masa depan. Mengingat sikap positif dalam memandang kewirausahaan ini merupakan kunci meningkatnya intensi kewirausahaan di kalangan mahasiswa universitas islam ini.
KESIMPULAN
Pendidikan kewirausahaan ini bisa dikatakan berlangsung secara efektif bila mendapatkan dukungan oleh sejumlah aspek, baik itu merupakan aspek internal ataupun aspek eksternal yang ada di perguruan tinggi. Sorotan pada aspek internal, lebih pada perlunya satu rancangan dalam mendesain kurikulum pembelajaran yang efektif dan bisa disampaikan melalui satu metode-metode pengajaran yang tepat. Kelengkapan fasilitas-fasilitas, baik yang bersifat fisik maupun non fisik, dalam mendukung jalannya proses pendidikan juga merupakan tuntutan yang harus dipenuhi oleh perguruan tinggi
Sikap positif dalam memandang kewirausahaan merupakan salah satu faktor kunci yang paling penting dalam memberikan pengaruh terhadap tumbuhnya Intensi Kewirausahaan mahasiswa universitas Islam Swasta. Sikap pesimis atau negative terhadap kewitausahaan bisa dikontrol dan diperbaiki dengan memperbaiki dan memberi porsi lebih pada kurikulum dengan materi soft skill. Hal ini berguna untuk meyakinkan dan memberi motivasi mahasiswa hingga terbentuk sikap positif mereka dalam memandang dunia usaha. Demikian pula dalam meningkatkan kepercayaan dirinya untuk mampu menghadapi resiko-resiko bisnis termasuk untuk bangkit dari kegagalan. Mengingat universitas ini adalah universitas Islam Swasta maka perlu ditanamkan basis Entrepreneur Islam dimana motivasi seorang wirausaha muslim yang bersifat horizontal dan vertikal perlu mendapatkan tekanan. Sesuai dengan anjuran dalam Islam bahwa memiliki jiwa entrepreneur sangat didukung dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam kehidupan sehari-harinya.
Pada akhirnya secara terintegrasi konsep pendidikan kewirausahaan di universitas Islam swasta sudah dipastikan harus ditata dan dikaitkan dengan fungsi Tridharma Perguruan tinggi. Hendaknya penerapan kewirausahaan di universitas Islam Swasta tidak hanya difokuskan pada bidang pengajaran. Namun lebih lanjut harus diperluas pada ranah penelitian dan di sebarkan secara praktek pada pengabdian-pengabdian masyarakat. Keberadaan program Kampus Merdeka, Merdeka Belajar, sebagai sebuah terobosan yang bertujuan mendorong mahasiswa untuk menguasai berbagai keilmuan yang berguna untuk memasuki dunia kerja akan bisa menjadi pemacu dan katalisator. Dimana terdapat dorongan kesempatan bagi mahasiswa untuk bisa melengkapi ilmu di luar prodi dan kampusnya. Sementara Kampus bisa berkolaborasi dengan kampus lain untuk join fasilitas, kurikulum bahkan kembali menata konsep kewirausahaannya secara fleksible sesuai dengan gap diatas.