Satu kali saat rumah saya pindah saya selalu menemukan selebaran di depan carpot. Entah itu diselipkan dipagar, ditempel dengan sticker ataupun sekedar dilemparkan. Saya hanya melihat sepintas. Beberapa selebaran berupa kataloc yang cukup bagus pencetakannya dikirim berbungkuskan plastik dan jelas untuk siapa tertujunya. Lainnya berupa selebaran copian di kertas warna dan selebihnya dicetak ofset 1 warna dengan kertas karton. Semula saya memandang sekilas dan selanjutnya tempat sampah adalah tujuan saya. Membuangnya. Brosur delivery makanan, catering, service peralatan rumah tangga, les private dan lain-lainnya sama sekali tak saya butuhkan. Wajar bila saya membuangnya. Hampir setahun saya menghuni rumah itu dan tak pernah surut brosur-brosur itu berdatangan dengan cara yang sama. Diselipkan dipagar, ditempel dengan sticker atau kadang sekedar dilemparkan. Saya pun tetap melakukan ritual lama saya. Membuangnya!
Satu ketika pompa jet pump saya rusak tanpa sebab. Meski ada air PDAM tak urung kami sekeluarga kelabakan juga. Logikanya harus dihadirkan seorang teknisi servise dengan segera, tapi dimana mendapatkannya dengan cepat? Prakteknya tak mudah untuk mendapatkan seorang teknisi disaat darurat begini. Selain tak pernah menggunakan jasa seperti ini, sayapun tak ada acuan informasi yang tepat di mana mendapatkannya. Saya hanya bisa berandai-andai bila ada informasi saat itu alangkah asangat menolong. Pikiran saya langsung teringat dengan brosur-brosur yang sering terserak di carpot dan berakhir di tempat sampah. Belajar dari pengalaman itu kini sering mensortir brosur-brosur yang masuk carpot saya. Sekiranya saya belum punya brosur itu meski jasa layanan yang diberikan belum tentu saya butuhkan akan saya simpan. Saya hanya berfikir untuk “jaga-jaga”. Dalam keseharian sebenarnya tak banyak keluarga yang punya pengalaman yang berbeda dengan saya. Pada umumnya mereka sama, merasa perlu akan brosur-brosur itu disaat dibutuhkan. Disaat kepepet! […….]