Gelontor Terus

By Sam (18072007.17.07)

Satu kali saat   rumah saya pindah saya selalu menemukan selebaran di depan carpot.   Entah itu diselipkan dipagar, ditempel dengan sticker ataupun sekedar dilemparkan.   Saya hanya melihat sepintas.   Beberapa selebaran berupa kataloc yang cukup bagus pencetakannya dikirim berbungkuskan plastik dan jelas untuk siapa tertujunya.   Lainnya berupa selebaran copian di kertas warna dan selebihnya dicetak ofset 1 warna dengan kertas karton. Semula saya memandang sekilas dan selanjutnya tempat sampah adalah tujuan saya. Membuangnya.   Brosur delivery makanan, catering, service peralatan rumah tangga, les private dan lain-lainnya sama sekali tak saya butuhkan.   Wajar bila saya membuangnya.    Hampir setahun saya menghuni rumah itu dan tak pernah surut brosur-brosur itu berdatangan dengan cara yang sama.   Diselipkan dipagar, ditempel dengan sticker atau kadang sekedar dilemparkan.   Saya pun tetap melakukan ritual lama saya. Membuangnya!

Satu ketika pompa jet pump saya rusak tanpa sebab.   Meski ada air PDAM tak urung kami sekeluarga kelabakan juga.   Logikanya harus dihadirkan seorang teknisi servise dengan segera, tapi dimana mendapatkannya dengan cepat?   Prakteknya tak mudah untuk mendapatkan seorang teknisi disaat darurat begini.   Selain tak pernah menggunakan jasa seperti ini, sayapun tak ada acuan informasi yang tepat di mana mendapatkannya.   Saya hanya bisa berandai-andai bila ada informasi saat itu alangkah asangat menolong.   Pikiran saya langsung teringat dengan brosur-brosur yang sering terserak di carpot dan berakhir di tempat sampah.   Belajar dari pengalaman itu kini sering mensortir brosur-brosur yang masuk carpot saya.   Sekiranya saya belum punya brosur itu meski jasa layanan yang diberikan belum tentu saya butuhkan   akan saya simpan.   Saya hanya berfikir untuk “jaga-jaga”.   Dalam keseharian sebenarnya tak banyak keluarga yang punya pengalaman yang berbeda dengan saya.   Pada umumnya mereka sama, merasa perlu akan brosur-brosur itu disaat dibutuhkan.   Disaat kepepet!

Perilaku konsumen di perumahan seperti ini harus dipahami sekali oleh usaha-usaha kecil yang mengambil pangsa pasar di area perumahan.   Sehingga mereka bisa menerapkan strategi penyebaran brosur secara tepat dan efisien.   Diantara langkah yang bisa diambil diantaranya:

1. Sebarkanlah brosur disaat yang tepat. misalkan ambil awal bulan untuk barang-barang konsumtif, atau waktu di sore hari dimana kemungkinan bertemu dengan penghuni rumah lebih besar.

2. Sebarkan brosur dengan cara yang benar. Taruh ditempat yang semestinya seperti kotak pos.   Melempar brosur sembarangan akan merugikan kita sendiri selain brosur dianggap sampah kemungkinan brosur rusak atau tak terbacapun menjadi semakin besar.

3. Bekali penyebar brosur dengan product knowledge sehingga dia tidak sekedar membagikan brosur semata namun bila memungkinkan bisa memaparkan produk tersebut pada calon konsumen yang bertanya atau yang dia temui.

4. Kemas brosur dengan cara yang tepat. Misalkan dicetak di kertas yang tebal dan diberi lubang sehingga bisa digantungkan atau diberi sampul plastik hingga kemungkinan kena hujan atau air bisa ditoletir. Atau coba didesain sehingga brosur mudah disimpan.

Yang paling penting juga sebarkanlah brosur secara berkala pada area sebaran yang sama.  Selain agar awareness produk kita bisa terbangun secara fokus kitapun harus kembali pada kasus diatas.  Siapa tahu kita  ada disaat yang tepat.  Jadi  jangan ragu  untuk menggelontor terus!

Facebooktwitterredditpinterestmail

You may also like

10 comments

  1. Sayangnya, sampai berbusa mulut kita bersuara pada produsen, nyatanya produsen lebih kuat akan kepentingannya. Solusinya terletak pada bagaimana kita mengatasi kuatnya kepentingan produsen, dibandingkan menasehati produsen.
    Berhubung tulisan ini ada di kolom bisnis/sambizz, maka suara yang saya sampaikan juga berbau bisnis.
    Suatu kali, Ayu Utami di undang untuk berbicara soal sampah ditengah-tengah ibu-ibu “Menteng”. Tuan rumah yang juga istri pembesar Singapore mengatakan: “saya meminta pekerja di rumah untuk memilah-milah sampah, dan mempersilahkan para pekerja untuk menjual apa yang bisa dijual dan mengambil hasilnya”. Saat itupun, Ayu Utami membagikan hobi barunya memilah sampah, hingga menghasilkan kompos. Luar biasa!
    Sebagai Pria yang kurang suka berhubungan dengan dapur, saya memang tak bermasalah dengan sampah di dapur. Namun berbagai koran dan lembaran iklan yang sering saya kumpulkan dari berbagai tempat memang membuat “si mbak” cemberut akan suasana kapal pecah yang saya timbulkan. Bukankah informasi begitu penting?
    Sewaktu nge-kost di daerah jaman kuliah, dan bokek, saya hobbi jual koran. Kenangan itulah yang saya bagikan kepada “si mbak”, hingga suatu kali saya mesam-mesem melihat senyum an si mbak yang mengantongi “lembaran pak Harto” dari jualan berbagai kertas-kertas bekas saya.
    Karena aksi jual si mbak, saya hobbi “save as” berbagai selebaran di hp dan scan berita koran yang penting. Hal itu menghantar saya untuk lebih banyak nonkrong di komputer, yang akhirnya menikmati cyber. jelaslah, itu berdampak pada pembelian koran dan majalah yang berkurang, ditambah lebih memilih mengumpulkan iklan dari cyber (“lebih underground”) dibandingkan selebaran iklan. Dampaknya, si mbak yang dulu suka cemberut karena kertas berserakan, sekarang justru bertanya: “kok kertas-kertas bekasnya udah jarang pak”? Harap-harap cemas, semoga si mbak tak menjual buku-buku saya.
    Kesimpulannya, selama dalam zona legal, kepentingan yang bergejolak di pasar tak bisa dibungkam dengan anjuran-anjuran ala “malaikat” sekalipun. Solusinya terletak pada kemauan kita menciptakan simbiosis mutualisme, dimana pihak lain akhirnya turut senang akan apa yang sedang bergejolak. Oleh karena itu, melalui media ini saya sarankan para produsen untuk kirimkan berkilo-kilo flyers ke rumah saya, supaya si mbak tersenyum.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


+ 4 = six