Menggunakan Tools Yang Bernama System

Be Samyono [2002201223.24]

“Wah Selamat-selamat, welcome to the club” … Satu kebanggaan, ucapan selamat dan tepukan di pundak selalu kami berikan bagi rekan-rekan TDA Jaksel yang kebingungan.  Kebingungan karena bisnisnya memerlukan sentuhan-sentuhan baru agar bisa berjalan.  Kami sebut ini proses naik kelas.  Naik pada jenjang bisnis yang lebih tinggi.  Ketidak nyamanan pada zona bisnis yang telah ada menandakan adanya progres dan proses untuk tumbuh.  Dan ini pertanda hal yang positif dan patut untuk didukung.  Bagaimanapun menjalankan bisnis sama halnya menapak jenjang karir di satu perusahaan. Ada level-level yang harus didaki sesuai dengan tantangan bisnis, size bisnis, ataupun perkembangan bisnis itu sendiri.

Rupanya Komunitas TDA Jaksel tak ubahnya sebagai satu usaha atau perusahaan.  Dalam Komunitaspun ternyata sama ditemuai adanya tantangan dan kebutuhan yang harus dipenuhi dalam menjawab perkembangan yang muncul.  Ini jelas masuk dinalar.  Saat awal kepengurusan yang baru anggota lama tak lebih dari 20an orang baik yang aktif maupun tidak, keakraban dan saling tahu antar satu dan lainnya amat sangat kental.  Komunikasipun tidaklah sulit untuk dibangun.  Namun begitu anggota group mencapai 300-an orang, ini tantangan tersendiri bagi Komunitas untuk bisa menjalankan perannya secara maksimal.  Terlebih lagi bertambahnya jumlah anggota bukan berarti secara paralel bertambah pula jumlah pengurus yang ada.  Tidak sama sekali.  Bahkan bila dipilah pengurus yang ada sekarang bisa dihitung dengan sebelah jari tangan. Belum lagi bila dihitung keaktifannya atau dihitung siapa pengurus yang bertempat tinggal di Jakarta selatan. Bilangan jari kita akan segera berkurang.

Satu contoh bagaimana menanggapi pertanyaan sederhana: “Bagaimana menjadi anggota TDA jaksel?”  Mestinya ini merupakan pertanyaan yang biasa dan wajar. Namun apa yang terjadi bila kalimat tanya ini dilontarkan hampir setiap hari oleh beberapa orang berbeda dan ditambahkan lagi dengan beberapa pertanyaan lain yang terkait mengikutinya. Tentu bukan lagi sesuatu yang sederhana.  Perbedaan rasio pengurus dan calon anggota yang merupakan customer yang harus dilayani menambah peliknya permasalahan ini.

Mau tak mau, suka tak suka kami pengurus berada dalam zona yang tidak nyaman dan membutuhkan pemecahan masalah layaknya saat kami menjalankan usaha sendiri.  Bila di perusahaan permasalahan ini akan segera dilakuakan pemecahan bersama departemen terkain.  Di komunitaspun sama.  Pengurus berusaha menuntaskan permasalahan ini.  Dan dari beberapa kali pembicaraan akhirnya  kami sepakat bahwa dalam hal ini sebuah tool-lah yang kami butuhkan.  Dan tools itu adalah sebuah sistem.  Arti kamus mengatakan bahwa sistem adalah kesatuan yang terdiri komponen atau elemen yang dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran informasimateri atau energi.  Tepatnya yang kami butuhkan disini adalah sistem informasi.  Sistem dimana semua orang bisa terinformasikan mengenai semua hal yang berkaitan dengan TDA Jaksel, mulai dari pendaftran, kegiatan, peluang, aturan hingga masalah charity.  Informasi yang menghindarkan informasi yang asimetris dan berulang karena pertanyaan-pertanyaan yang sama.

Disinilah rekan-rekan TDA jaksel mulai membangun sistem secara parsial yang pada akhirnya di hubungkan sehingga membentuk satu sistem informasi yang jelas.  Kongkritnya ada web, group, dan milist yang dibangun dan dilengkapi dengan informasi yang saling terhubung sehingga bila salah satu anggota sebagai contoh,  membutuhkan informasi tertentu maka semua informasi akan mudah tersedia dan bisa diakses dengan cepat.  Contoh kongkritnya bila ada yang bertanya soal  keikut sertaan di TDA Jaksel. Kami akan merujuk ke web untuk bisa masuk ke jalur komunikasi TDA Jaksel. Bila telah berada disana satu panduan akan diberikan untuk mengetahuai segala sesuatu mengenai TDA Jaksel.  Sistem ini walaupun sederhana namun memudahkan pengurus yang terbatas waktu dan tenaganya untuk memberikan informasi pada anggota.  Ini merupakan progres yang bagus bagi komunitas dan sama seperti membicarakan satu bisnis, komunitas ini sejauh ini telah menjejak level bisnis yang lebih tinggi.

Masalahnya muncul bila anggota atau calon anggota tidak terbiasa untuk MEMBACA INFORMASI.  Terbentur pada budaya bahwa anggota ingin dilayani secara personal.  Pengurus memilih untuk menghapus attitude ini.   Dengan sistem ini selain diupayakan untuk memberikan kemudahan secara swalayan juga didesain untuk mendorong member agar mempunyai budaya untuk mandiri dan aktif berpartisipasi.  Lebih jauh lagi mendorong member untuk mempunyai attitude wirausaha yang sebenarnya.  Bila di sisi lain ditemui  banyak orang yang tak nyaman dengan kondisi ini dan enggan untuk berada di TDA Jaksel.  Kembali pemikiran TDA Jaksel kedepannya menjadi titik berat.  Komunitas ini harus meninggalkan orientasi kuantitatif dan berfokus pada aspek kualitatif berupa pemberdayaan anggota.  Dan itu semua dimulai bila anggota mempunyai kesadaran sendiri untuk berorganisasi dan secara aktif memberikan kontribusi.  Setidaknya kemandirian yang ditawarkan sistem ini bisa menjadi screening komitmen bagi calon anggota yang akan masuk.  Padahal bila kita pikir perintah yang diberikan bagi Nabi kita pertamapun tak lain adalah untuk MEMBACA.  Wajar bila membaca menjadi satu acuan utama dalam berkomunitas bahkan dalam berbisnis.

Pembelajaran sederhana yang bisa kita petik disini adalah bagaimana antara bisnis dan komunitas bisa saling berkolaborasi dan berkontribusi, yang sering saya istilahkan dengan kata bersinergi.  Berkomunitas harus bisa menumbuhkan bisnis kita dan sebaliknya berbisnis harus bisa memberdayakan banyak hal melalui komunitas.  Keduanya mestinya bisa saling terjalin simbiosis mutualisme dan saling menumbuhkan.  Sesuatu yang salah bila saat kaki kita diantara keduanya namun kontribusi kita dalam berkomunitas dipertanyakan atau malah bisnis kita yang tidak bisa berjalan.

Facebooktwitterredditpinterestmail

You may also like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


one + 4 =